MATERI PENELITIAN SEJARAH (SEJARAH PEMINATAN KELAS X SEMESTER GENAP)

 

PENELITIAN SEJARAH

 



Penelitian sejarah adalah untuk menetapkan fakta dan mencapai simpulan mengenai hal-hal yang telah lalu, yang dilakukan secara sistematis dan objektif oleh ahli sejarah dalam mencari, mengevaluasi dan menafsirkan bukti-bukti untuk mempelajari masalah baru tersebut.  Penelitian sejarah juga merupakan penelaahan serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis dan objektif oleh ahli sejarah dalam mencari, mengvaluasi dan menafsirkan bukti-bukti untuk mempelajari masalah baru tersebut.

Penelitian sejarah pada dasarnya adalah penelitian terhadap sumber-sumber sejarah, merupakan implementasi dari tahapan kegiatan yang tercakup dalam metode sejarah yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.

Gambar berikut  menggambarkan tahapan Penelitian Sejarah sebagai berikut:

 



A.    Menentukan Topik

Sebelum masuk dalam penelitian sejarah, yang perlu dilakukan oleh peneliti adalah menentukan topic dan merumuskan masalah. Pemilihan topik haruslah unik, artinya mengundang rasa ingin tahu. Selain itu, topik yang dipilih juga harus bernilai. Maksudnya topik ini memiliki arti penting bagi ilmu pengetahuan yang tentunya berguna juga untuk masyarakat.

B.     Heuristik

Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Berhasil tidaknya pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari wawasan peneliti mengenai sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran sumber (Sobana Hs, 2008, hal. 4).  Menurut Carrard (1992) dan Gee (1950)  dalam(Sjamsuddin, 2007, hal. 86) heuristik (heuristics) merupakan sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data/materi sejarah/evidensi sejarah. Tahap heuristik ini banyak menyita waktu, biaya, tenaga, pikiran dan perasaan karena apabila kita mendapatkan yang dicari maka serasa mendapatkan harta karun, sementara jika sudah bersusah payah mencari sumber tetapi tidak berhasil maka rasa frustasi akan muncul.

Sumber-sumber sejarah dapat ditemukan di perpustakaan, arsip dan museum, dimana kekayaan perpustakaan, arsip dan museum dapat diketahui dari petunjuk-petunjuk, indeks, bibliografi, katalog, majalah, dan jurnal serta brosur yang meminformasikan kepada sejarawan, peneliti, pengunjung apa saja yang tersedia dalam perpustakaan, arsip  atau museum itu yang berhubungan dengan literatur atau dokumen sejarah. Pengetahuan praktis mengenai petunjuk-petunjuk atau indeks-indeks ini dan bagaimana menggunakan perpustakaan dan arsip adalah syarat mutlak bagi penelitian sejarah. Pengetahuan tersebut muncul biasanya selama proses pengumpulan materi itu berlangsung (Sjamsuddin, 2007, hal. 121).

Heuristik adalah metode pertama yang dilakukan dalam penelitian sejarah. Pada tahap ini, para peneliti sejarah mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah yang dibutuhkan. Sumber yang bisa digunakan terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Sumber primer: berasal langsung dari para pelaku sejarah, seperti naskah, prasasti, artefak, dokumen-dokumen, foto, bangunan, catatan harian, hasil wawancara, video, dll.

b. Sumber sekunder:  sumber sekunder berasal dari pihak yang bukan pelaku sejarah, melainkan pihak lain di luar para pelaku sejarah (peneliti misalnya). Benda-benda yang termasuk sumber sekunder antara lain adalah laporan penelitian, ensiklopedia, catatan lapangan peneliti, buku, dll.

 

C.     Kritik

Setelah melakukan heuristik, metode selanjutnya adalah kritik atau disebut juga verifikasi. Ini adalah metode untuk autentikasi (membuktikan sumber sejarah yang bersangkutan adalah asli) dan kredibilitas sumber sejarah.

Kritik adalah sebuah kegiatan pengujian secara kritis terhadap sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan, untuk memperoleh otentisitas dan dan kredibilitas. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat dalam lembaran lepas (sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya berdasarkan kerangka tulisan. Kritik sumber dilakukan setelah peneliti berhasil mengumpulkan sumber-sumber dalam penelitiannya dan tidak menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber tersebut dan menyaringnya secara kritis terutama sumber pertama (Sjamsuddin, 2007, hal. 131). Kritik sumber dilakukan dilakukan baik terhadap bahan materi  maupun terhadap substansi (isi) sumber.

 

Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal.

1. Kritik eksternal

Kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007, hal. 132). Sebelum sumber-sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, menurut Lucey (1984) ada lima pertanyaan yang harus dijawab dengan memuaskan (Sjamsuddin, 2007, hal. 133) yaitu:

Siapa yang mengatakan?

Apakah kesaksian tersebut telah diubah?

Apa yang dimaksud sumber dengan kesaksiannya?

Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata (witness) yang kompeten (mengetahui fakta yang sebenarnya)

Apakah saksi mengatakan fakta yang sebenarnya (truth) dan memberikan fakta yang diketahui?

Fungsi kritik eksternal adalah memeriksa sumber sejarah atas dasar dua hal pertama dan menegakkan sedapat mungkin otentisitas dan integritas dari sumber tersebut. Kritik eksternal juga harus memperhatikan otentisitas (authenticity), deteksi sumber palsu, integritas dan penyuntingan. Sebuah sumber sejarah (catatan harian, surat, buku) adalah otentik atau asli jika itu benar-benar produk dari orang yang dianggap sebagai pemiliknya (atau dari periode yang dipercayai sebagai masanya jika tidak mungkin menandai pengarangnya).

Langkah yang dilakukan dalam menegakkan otentisitas  adalah mengidentifikasi penulis. Kadang-kadang penulis tidak dapat ditandai karena banyak dokumen dan penerbitan pertama-tama muncul tidak menggunakan nama samaran dan penelitian kemudian dapat saja berhasil mengidentifikasi beberapa penulisnya. Belum ada aturan yang benar-benar baku untuk memutuskan berapa banyak yang harus dibuktikan sebelum sebuah sumber dapat diterima sebagai sesuatu yang asli, namun semakin banyak yang diketahui tentang dokumen tersebut, semakin banyak pula yang dapat digunakan oleh peneliti dari sumber tersebut (Sjamsuddin, 2007, hal. 134-137).

Keahlian dalam mendeteksi sumber asli diperlukan mengingat kecanggihan teknologi modern yang memudahkan para pemalsu dokumen untuk melakukan operasinya. Banyak dokumen rahasia negara terutama yang sedang konflik dijajakan oleh para pemalsu kepada pihak yang berkepentingan dikatakan asli padahal palsu (Sjamsuddin, 2007, hal. 137). Dalam mendeteksi sumber maka haru diperhatikan kriteria fisik (jenis kertas, tinta, cat), garis asal usul dokumen, tulisan tangan, dan isi dari sumber.

Setelah mendeteksi sumber maka selanjutnya harus diketahui integritasnya. Integritas disini dapat diartikan bahwa sumber mempunyai otentisitas yang tetap jika kesaksian yang asli tetap terpelihara tanpa ubah-ubahan mensikipun ditransmisikan dari masa ke masa (Sjamsuddin, 2007, hal. 140). Ubahan dapat berupa penambahan, pengurangan, penghilangan atau penggantian dalam teks asli dan ini mungkin saja disengaja atau tidak disengaja dalam sumber asli atau dalam salinan aslinya. Ubahan yang sering terjadi diakibatkan oleh kekeliruan dalam menyalin sehingga secara substansional dapat mengubah arti sebuah teks. Untuk mencegah kekeliruan tersebut perlu dilakukan kolasi yaitu membandingkan manuskrip asli dengan salinan oleh seseorang yang membaca naskah asli dan sejarawan mengikuti naskah salinannya. Jika integritasnya terjaga maka dapat dikatakan fakta dari kesaksian (fact of testimony) telah ditegakkan bagi sejarawan (Lucey dalam Sjamsuddin, 2007, hal. 140)).

Dokumen yang diedit secara sembarangan dapat merusak banyak sumber sejarah. Dokumen memang harus diedit sebagaimana aslinya dan jika ada perubahan, penyunting harus memberitahukan pembacanya. Aplikasi dari aturan-aturan sederhana ini menuntut kerajinan yang diteliti dan penyunting dapat menggunakan tanda-tanda tertentu dalam mengoreksi kesalahan ejaan, istilah, ataupun nama yang dibuat oleh penulis asli (Sjamsuddin, 2007, hal. 143).

 

2. Kritik Internal

Kritik internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal dengan menekankan aspek dalam yaitu isi dari sumber, yaitu kesaksian (testimony) (Sjamsuddin, 2007, hal. 143). Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalu kritik eksternal, tiba giliran sejarawan untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian tersebut apakah reliable atau tidak. Hal yang perlu diperhatikan dari kritik internal adalah:

a. Arti sebenarnya dari kesaksian

Sejarawan harus menetapkan arti sebenarnya dari perkataan yang dikemukakan oleh saksi apakah diartikan harfiah atau sesungguhnya (real) . Arti harfiah adalah pengertian gramatikal yang berarti menurut huruf yang tertulis. Sementara arti yang sesungguhnya adalah arti yang tersirat dari balik huruf yang ditulis. Mungkin dalam sebuah tulisan sejarah sumber tersebut menggunakan kalimat metafora sehingga peneliti harus tahu arti yang sesungguhnya.

b. Kredibilitas kesaksian.

Kredibilitas (keterpercayaan) seorang saksi harus memperhatikan bagaimana kemampuan saksi untuk mengamati, bagaimana kesempatannya untuk mengamati teruji dengan benar atau tepat, bagaimana jaminan bagi kejujurannya, bagaimana kesaksiannya itu dibandingkan dengan saksi-saksi yang lain. Dalam membandingkan satu sumber dengan sumber-sumber lain untuk kredibilitas, terdapat tiga  kemungkinan yaitu sumber-sumber lain dapat cocok dengan sumber yang dibandingkan, berbeda dengan sumber atau malah tidak menyebutkan apa-apa (Sjamsuddin, 2007, hal. 151-152)

c. Sumber-sumber yang sesuai (concurring sources)

Sumber dikatakan kredibel apabila sumber yang lain sesuai dengan kesaksiannya baik secara independen maupun dependen. Penyesuaian kesaksian dari saksi independen dan dapat dipercaya yang dapat menegakkan kredibilitas suatu sumber tertentu.

d. Sumber-sumber yang berbeda (dissenting sources).

Perbedaan kesaksian sumber lain terhadap satu sumber tidak begitu saja dapat membatalkan kesaksian dari sumber yang dibicarakan. Tetapi tergantung dari tingkat perbedaannya. Pada beberapa kondisi tertentu perbedaan sudah dapat diperkirakan namun kembali kepada kecerdasan peneliti dalam menghadapi perbedaan tersebut dan komplikasi-komplikasi yang muncul akibat perbedaan sehingga dapat ditemukan juga benang merahnya.

 

D.    Historiografi

Sesudah menyelesaikan langkah-langkah pertama dan kedua berupa heurestik dan kritik sumber, maka langkah selanjutnya adalah menghasilkan karya historiografi yang merupakan penafsiran dan pengelompokkan fakta-fakta dalam berbagai hubungan juga membuat formulasi serta presentasi hasil-hasilnya sehingga akan menggamparkan operasi-operasi sintetis yang menuntun dari kritik dokumen kepada penulisan teks yang sesungguhnya (Sjamsuddin, 2007, hal. 155). Tahap-tahap penulisan mencakup interprestasi, eksplanasi sampai kepada presentasi atau pemaparan sejarah sebenarnya yang merupakan satu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

 

1. Penafsiran (Interpretasi)

Proses penulisan dilakukan karena ingin mencipta ulang dengan deskripsi dan narasi serta melakukan penafsiran (interpret) dengan menggunakan analisa dan berolritasi kepada problem. Teknik analisis deskripsi narasi sering kali dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah lama, sedangkan teknik analisis dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah baru yang ilmiah (Sjamsuddin, 2007, hal. 158).

 

2. Penjelasan (Eksplanasi)

Dalam setiap pembahasan mengenai metodologi sejarah, penjelasan merupakan satu pusat utama yang menjadi sorotan. Penjelasan menurut D.H. Fischer berarti membuat terang, jelas dan dapat dimengerti dengan menggunakan: what (apa), how (bagaimana), when (kapan), where  (dimana) dan who (siapa) (Sjamsuddin, 2007, hal. 190). Seringkali eksplanasi disamakan dengan deskripsi padahal sebenarnya keduanya dapat dibedakan. Deskripsi hanya penyebutan fakta saja, sementara penjelasan menuntut jawaban yang analitis-kritis yang akhirnya bermuara pada suatu penjelasan atau keterangan sintesis sejarah. Sejarah yang sebenarnya adalah jika dapat menjelaskan atau memberikan jawaban tentang why (mengapa). Jadi bukan sekedar what,  when, where dan who tapi lebih kepada why-what,  why-when, why-where dan why-who. Sebagai contoh misalnya fakta sejarah mengenai Proklamasi Kemerdekaan yang diucapkan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10 pagi oleh Ir. Sukarno. Dalam deskripsi, peneliti cukup menjawab apa (Proklamasi Kemerdekaan),  kapan (tanggal 17 Agustus 1945 jam 10), dimana (Jakarta) dan siapa (Ir. Sukarno). Tetapi dalam eksplanasi harus dapat menjawab, mengapa Proklamasi Kemerdekaaan diucapkan (why-what), mengapa Sukarno yang mengucapkan bukan Hatta (why-who), mengapa tanggal 17 Agustus 1945 bukan tanggal yang lainnya (why-when), dan mengapa di Jakarta bukan kota-kota lain di Indonesia (why-where). Jadi semuanya menuntut keterangan, penjelasan yang kalau ditulis dapat menghasilkan buku yang tebal bukan hanya sekedar jawaban faktual (Sjamsuddin, 2007, hal. 191-192).

 

Tetapi tanpa deskripsi faktual mustahil dapat membuat sebuah eksplanasi sejarah sebab eksplanasi tanpa fakta adalh fantasi. Hubungan antara keduanya adalah hubungan yang saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri. Seperti mobil dengan bahan-bahan pembuat mobil. Tidak akan ada mobil (eksplanasi) kalau tidak ada bahan-bahan pembuatnya seperti mesin, kaca, baja, ban, jok dan sebagainya (deskripsi fakta). Dalam bentuk yang paling sederhana, dengan merangkaikan komponen-komponen itu dalam suatu sintesis akan menghsilkan suatu penjelasan mengapa dan/atau bagaimana peristiwa sejarah terjadi (Sjamsuddin, 2007, hal. 193).

 

2. Penyajian (Ekspose)

Dalam penulisan sejarah, wujud dari penulisan itu merupakan paparan, penyajian dan presentasi yang sampai kepada dan dibaca oleh para pembaca dan pemerhati sejarah. Paling tidak secara bersamaan digunakan tiga bentuk teknik dasar menulis yaitu deskripsi, narasi dan analisis. Sehubungan dengan hal tersebut maka penyajian sejarah dapat dilakun dengan tiga cara yaitu deskriptif naratif, sejarah analitis-kritis dan gabungan deskriptif-naratif dan analitis kritis (Sjamsuddin, 2007, hal. 236-238).

Sejarah yang bersifat naratif mempunyai beberapa sebutan seperti sejarah populer dan sejarah peristiwa karena terlalu menyandarkan diri kepada peristiwa-peristiwa atau sejarah lama dimana sejarawan dianggap sebagai narator yang ditulis pada bagian luarnya saja dan tidak memiliki arti. Penyajian sejarah yang bersifat analitis kritis dianggap sebagai sejarah akademik dengan orientasinya pada problema dan struktur. Pemaparan untuk jenis ini umumnya terdapat pada karya tulis ilmiah sepeti tesis dan disertasi. Namun cara ini dianggap terlalu kaku dan tidak historis. Sementara gabungan deskriptif naratif dan analitis kritis merupakan proses integrasi peristiwa yang naratif dengan struktur yang analitis.

 Baca Juga:

MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT (KIMIA KELAS X SEMESTER GENAP) Buka di sini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH PROGRAM PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN MADRASAH

Soal PKWU Kelas XI Semester Ganjil dan Pembahasannya

RINGKASAN MATERI BIOLOGI KELAS X SEMESTER 2

CONTOH PROGRAM KERJA KEPALA MADRASAH ALIYAH

RINGKASAN MATERI BAB 5 MAPEL BAHASA INDONESIA MENYAJIKAN GAGASAN MELALUI ARTIKEL (KELAS XII SEMESTER GENAP)

LAPORAN KEGIATAN PASKIBRA SMAN 1 SAJIRA DALAM LOMBA LKBB GRAHA 2019

RPP ILMU NAHWU MTs

MATERI BERDEBAT DENGAN INDAH (BAHASA INDONESIA KELAS X SEMESTER GENAP)

Expression of Compliment (Ungkapan Pujian) Pengertian, Fungsi dan Contoh

Motivasi Hidup Islami Berdasarkan Al Qur'an dan Hadits